KOMPAS.com – Belum lama ini, warganet Twitter digemparkan persoalan antara warganet bernama Safa dengan penggemar boy group Kpop, NCT Dream.
Persoalan yang terjadi di ranah penggemar Kpop ini mengundang warganet lain untuk ikut berkomentar.
Salah satunya pegiat media sosial Twitter, @NdoroTedjo, yang ikut menaruh perhatian dan mencuitkan opininya pada Kamis (19/5/2022) dini hari.
Dihubungi Kompas.com pada Jumat (20/5/2022) malam, pemilik akun membenarkan perseteruan antara Safa dengan penggemar NCT Dream.
Bermula dari Safa yang dianggap menghina anggota NCT Dream, penggemar pun membuatkan forum Space bertajuk “Safa Space” sebagai tempat berdiskusi kedua pihak.
Tak lama setelah forum digelar, rekaman isi diskusi dalam Space tersebar hingga menjadi topik perbincangan di media sosial berlogo burung biru.
Beberapa hal yang pemilik akun sorot, antara lain sikap arogansi yang dinilai menyudutkan warganet Safa.
“Mereka selalu salah persepsi antara opini dengan hate speech. Kalau kamu tidak suka dengan sesuatu, sampaikan. Kita tidak bisa, misal sekelompok orang bilang A ini bagus, seluruh dunia harus bilang A itu bagus. Tidak begitu caranya,” ujar dia.
Menilik persoalan ini, bukan kali pertama perseteruan antar penggemar atau antara penggemar dan non-penggemar terjadi.
Tak hanya di kalangan Kpop, fenomena serupa juga terjadi di lingkup penggemar lain.
Lantas, mengapa seseorang bisa sedemikian mengidolakan hingga berani maju membela sang idola?
Penjelasan psikolog
Psikolog dan akademisi dari Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani Subardjo mengatakan, tidak ada yang salah dengan memiliki idola di dalam hidup.
Pasalnya, sesungguhnya idola bisa memberikan hal positif untuk pengembangan diri seseorang.
Ratna menjelaskan, biasanya, proses mengidolakan seseorang diawali dari ketertarikan karena hal yang sama dan berupa kekaguman.
Awal kekaguman mendorong untuk mengetahui lebih jauh tentang sang idola, hingga diikuti dengan perilaku mengumpulkan foto, guntingan berita atau kliping, tulisan, atau karya lain dari sang idola.
“Intinya selalu mengikuti informasi tentang diri idolanya. Lebih dari itu, banyak juga yang menunjukkan kekaguman pada tokoh idola dengan menunjukkan perilaku terobsesi,” ujar Ratna kepada Kompas.com, Jumat (20/5/2022).
Lebih lanjut Ratna menerangkan, ketika seseorang memiliki idola, ia akan memasukkan nilai-nilai atau hal yang melekat dalam diri idola ke dalam dirinya.
“Diasumsikan idola dengan segala perilaku dan atributnya bersifat positif. Ketika hal positif diintroyeksikan atau dimasukkan ke dalam dirinya, maka otomatis akan meningkatkan penilaian positif terhadap diri sendiri,” jelas dia.
Pengakuan dari orang lain juga dapat diperoleh ketika orang lain menunjukkan kekaguman atas perilaku mengidola yang ditunjukkannya.
“Terlebih lagi ketika pengakuan ini berasal dari sang idola sendiri. Pujian akan diberikan oleh orang lain, terkait seberapa besar usahanya untuk menunjukkan kekaguman pada sang idola,” tutur psikolog di RS Rajawali Citra, Bantul, DIY ini.
Fans dikendalikan oleh ego
Sebaliknya, jika perilaku dan atribut negatif, perilaku mengarah kepada hal negatif juga akan menjadi pola perilaku “membanggakan” bagi penggemar.
“Belum lagi dengan sesuatu yang menggebu-nggebu yang mereka rasakan, yang justru menjadi sebuah euforia atau kesenangan yang sebetulnya merupakan pelarian dari masalah mereka,” kata Ratna.
Ratna mencontohkan, seperti menonton konser atau mengikuti kehidupan idola yang justru merugikan mereka secara finansial.
“Ini bisa merusak jati diri seseorang. Fans seolah disibukkan dengan sesuatu yang dikendalikan oleh ego, mengikuti kemauan ego agar dianggap sebagai fans setia,” tutur dia.
Hal inilah yang menurut Ratna mengkhawatirkan. Ditambah, ego penggemar yang kadang merasa tidak terima saat idolanya dikomentari orang lain, di luar persepsi penggemar.
Membalas komentar yang dianggap tidak sesuai atau menjatuhkan idola dengan komentar “buruk”, menurut Ratna bukan tindakan yang bijak.
Justru, bisa semakin mengacaukan keadaan. Pasalnya, balasan komentar penggemar juga bisa ditanggapi miring oleh orang lain.
Pesan Ratna, jangan sampai hanya karena tulisan di media sosial yang berbau idola, membuat kesehatan mental menjadi terganggu, tidak merasa tenang, diteror, bahkan diperkarakan ke pengadilan.
Peran orangtua dan lingkungan amat penting
Terkait fenomena ini, peran orangtua dan lingkungan amat dibutuhkan untuk mengawasi perilaku penggemar terutama di usia remaja.
“Orang tua di antaranya dapat berperan untuk membimbing anak agar aksi fanatisme tersebut bisa lebih bermanfaat dengan mengambil sudut pandang kerja keras dan bagaimana usaha kreatif sang idola,” ujar Ratna.
Dengan demikian, idola akan menjadi inspirasi yang mendorong semangat remaja dalam meraih impiannya.
“Jadi, apabila Anda memiliki idola, sebaiknya ditinjau kembali bagaimana bentuk perilaku yang muncul dalam mengidolakan. Apakah hanya biasa saja ataukah sampai berlebihan, sehingga menjadi fanatic atau maniac fans? Cek diri kita yuk,” pesan Ratna.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Viral #soal #Safa #Space #Twitter #Mengapa #Seseorang #Bisa #Begitu #Fanatik #Mengidolakan #Orang #Lain #Halaman
Klik disini untuk lihat artikel asli