Partai Non-Parlemen Bisa Jadi Pembeda Koalisi

  • Whatsapp

MUNCULNYA gairah koalisi sebagai upaya merangkai perahu untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, patut diapresiasi.

Read More

Koalisi dini, terlebih sudah memantapkan sosok yang akan dicalonkan, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui rekam jejaknya dan menilai seberapa pantas untuk dipilih.

Koalisi yang lebih cepat semakin penting mengingat waktu kampanye direncanakan dipangkas menjadi 90 hari (3 bulan) dari sebelumnya 180 hari (6 bulan). Artinya kesempatan masyarakat untuk mengenal capres dan cawapres menjadi lebih sempit.

Calon juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengunjungi seluruh daerah mengingat luasnya wilayah Indonesia.

Bahkan untuk mengunjungi semua kabupaten/kota yang berjumlah 514, tidak cukup sekali pun dilakukan pembagian tugas antara capres dan cawapres.

Benar ada kabupaten/kota yang saling berdekatan. Namun yang berjauhan antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya juga banyak seperti di Kalimantan dan Papua.

Kebiasaan menetapkan pasangan calon pada menit-menit akhir penutupan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti di Pilpres 2014 dan 2019, bisa dihindari jika partai sudah memiliki kriteria capres dan cawapres yang jelas.

Penetapan calon atau pasangan calon sejak awal juga dapat menghindarkan dari tuduhan politik transaksional. Benar, tidak ada partai yang secara resmi memasang tarif atau mahar.

Tetapi proposal untuk menggerakkan mesin partai jika tidak ingin perahunya tanpa penumpang, sulit untuk tidak disebut sebagai mahar.

Apalagi jumlahnya sangat besar, bisa mencapai triliunan rupiah. Semakin besar perahunya – didasarkan dengan jumlah kursi di DPR atau suara nasional, semakin mahal “harga pelumasnya”.

Meski tidak memiliki kader di Senayan karena tidak memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold), keberadaan tujuh partai politik peserta Pemilu 2019 ini layak diperhitungan dalam upaya pembentukan koalisi.

Gabungan suara nasional milik Partai Perindo (2,67 persen), Partai Berkarya (2,09 persen), PSI (1,89 persen), Partai Hanura (1,54 persen), PBB (0,79 persen), Partai Garuda (0,50 persen), dan PKPI (0,22 persen), cukup menarik.

Total perolehan 7 parpol tersebut mencapai 9,7 persen, setara perolehan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2019, yakni 9,69 persen suara nasional.

Total suara itu lebih besar dibanding Partai Nasdem (9,05 persen) yang berada di posisi kelima dalam perolehan suara nasional, namun posisi keempat dalam perolehan kursi DPR.

Gabungan parpol nonparlemen akan diperhitungkan manakala menggunakan ketentuan syarat pengusung capres sebesar 25 persen suara nasional.

Koalisi Demokrat (7.77 persen) – PKS (8,21 persen), atau Nasdem (9,05 persen) – PAN (6,84 persen) yang jika menggunakan ketentuan 20 persen kursi DPR tidak mencukupi, bisa menarik gabung parpol nonparlemen untuk memenuhi ketentuan 25 persen suara nasional.

Namun demikian, bukan hal yang mudah untuk merangkai perahu dengan mengandalkan suara gabungan parpol nonparlemen. Ada banyak kendalanya.

Pertama, secara basis politik 7 parpol nonparlemen saling bertolakbelakang. Kita contohkan Berkarya dengan PSI, atau PBB dengan PKPI. Sulit menyamakan persepsi politik parpol-parpol tersebut.

Kedua, masing-masing parpol seperti sudah memiliki preferensi sendiri terhadap bakal capres.

Ketiga, biaya politik (political cost) yang sangat tinggi. Sebab sekali pun bergabung, hitung-hitungan biaya politiknya umumnya terpisah. Mereka akan menggunakan asumsi besaran suara yang dimiliki.

Misalnya Perindo yang memiliki suara terbesar dibanding parpol nonparlemen lainnya, tentu tidak mau jika “maharnya” disetarakan PKPI yang memiliki perolehan suara nasional paling rendah.

Tetapi bukan berarti tidak ada peluang sama sekali. Jika muncul sosok capres dengan elektabilitas memadai dan tidak terjebak dalam sekat isu yang berpotensi memunculkan penolakan tinggi, bukan mustahil semua perbedaaan dapat disatukan.

Masih ada waktu sampai September 2023. Sudah saatnya bagi parpol nonparlemen memaksimalkan setiap kesempatan agar suara konstituen yang gagal dikonversi menjadi kursi di parlemen karena tidak memenuhi ambang batas, dapat disalurkan dalam gelaran pilpres.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

#Partai #NonParlemen #Bisa #Jadi #Pembeda #Koalisi #Halaman

Klik disini untuk lihat artikel asli

Related posts