Ramai soal Isu Praktik Jual Beli “Restorative Justice”, Ini Kata Kejagung

  • Whatsapp

KOMPAS.com – Dugaan praktik jual beli restorative justice merebak di kalangan masyarakat.

Read More

Hal itu berawal dari keterangan Anggota komisi III DPR RI Adang Daradjatun yang menyinggung soal jual beli restorative justice dalam rapat bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Senin (16/1/2023).

“Saya minta kedalaman, ini enggak main-main ya, karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini sudah mulai jual menjual,” kata Adang, dilansir dari (18/1/2023).

Merebaknya jual beli restorative justice juga sempat menyeret soal kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) yang diberhentikan.

Kejagung: pemerkosaan tak bisa dihentikan oleh restorative justice

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana memastikan bahwa kasus pemerkosaan tidak bisa dihentikan dengan restorative justice.

“Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi,” terangnya, saat dikonfirmasi oleh Kompas.com, Rabu (18/1/2023),

Adapun berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, batasan limitatif itu di antaranya:

  1. Pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis)
  2. Ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun
  3. Kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp 2.500.000
  4. Tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat.

Berdasarkan persyaratan di atas, Ketut memastikan bahwa kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan dengan restorative justice.

“Kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif,” tandas dia.

Di samping itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban, yang juga berdampak luas pada masyarakat.

Penerapan restorative justice

Menurut Ketut, penerapan restorative justice mengacu pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP, yaitu penuntut umum.

Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.

Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c.

Turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya,” bunyi pasal tersebut.

Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 34A.

Untuk kepentingan penegakkan hukum, Jaksa dan/atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik,” tulis pasal tersebut.

“Dalam penerapan keadilan restoratif (restorative justice) oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana,” kata Ketut.

Sejauh ini, penerapan restorative justice sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional.

Restorative justice juga memiliki dampak luar biasa di masyarakat, yakni dapat mengurangi resistensi di masyarakat serta memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat.

Selain itu, juga bisa mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum.


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

#Ramai #soal #Isu #Praktik #Jual #Beli #Restorative #Justice #Ini #Kata #Kejagung

Klik disini untuk lihat artikel asli

Related posts