Plus Minus Perdagangan Karbon

  • Whatsapp

PERDAGANGAN karbon salah satu upaya Indonesia mempercepat penurunan emisi dan mengatasi krisis iklim.

Perdagangan karbon bukan barang baru. Protokol perdagangan karbon merupakan salah satu upaya yang dapat diterapkan untuk mengurangi emisi karbon selain implementasi bersama dan mekanisme pembangunan bersih.

Secara umum, perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim yang dilakukan pelaku usaha ataupun pihak lain.

Malalui skema ini, pelaku usaha yang mampu menekan emisi karbon dapat menjual kredit karbon mereka ke perusahaan yang melampaui batas emisi.

Jadi sebenarnya ini hanyalah jual beli di atas kertas belaka. Ini adalah sistem pay of performance, bukan sistem jual beli di mana ada komitmen uang langsung.

Dalam skala (scooping) antarnegara, perdagangan karbon diartikan sebagai skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon alami, seperi negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropika basah seperti Indonesia, Brasil dan seterusnya.

Negara-negara berkembang yang masih memiliki banyak karbon kredit dibandingkan negara industri bisa menjual karbon kreditnya kepada negara yang memproduksi emisi.

Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmenkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon.

Berbagai perangkat dan instrumen regulasi telah disiapkan pemerintah untuk mendukung perdagangan karbon.

Mulai dari undang-undang (UU) no. 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, peraturan presiden (Perpres) no. 98 tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) untuk pencapaian target yang ditetapkan secara nasional (NDC) dan pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) dalam pembangunan nasional, Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 tahun 2022 tentang Tata Laksana NEK.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, bursa karbon didefinisikan sebagai sistem yang mengatur pencatatan cadangan, perdagangan, serta status kepemilikan unit karbon.

Sementara Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 tahun 22 menyebutkan perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui jual-beli unit karbon.

Perdagangan karbon bisa dilakukan melalui perdagangan dalam dan luar negeri. Untuk perdagangan luar negeri, mekanismenya tak mengurangi target nationally determined contribution (NDC) pada 2030.

Selain perdagangan langsung, salah satu perdagangan emisi dan off set emisi gas rumah kaca, perdagangan karbon bisa melalui bursa karbon.

Perdagangan karbon melalui bursa karbon dilakukan dengan: a) pengembangan infrastruktur karbon, b) pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon, dan c) administrasi transaksi karbon.

Bursa karbon merupakan bursa efek atau penyelenggara perdagangan yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mengenai perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.

Di Indonesia izin usahanya dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sertifikat perdagangan emisi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Mekasnisme perdagangan karbon di Indonesia ditinjaklanjuti oleh OJK dengan Peraturannya Nomor 14 tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang terbit akhir Agustus 2023.

Peraturan OJK ini menjadi bagian guna mendukung upaya pemerintah dalam penurunan emisi. Dalam peraturan ini diatur unit karbon yang diperdagangkan melalui bursa karbon harus terdaftar dalam Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SEN-PPI) dan Penyelenggaraan Bursa Karbon.

Kemudian pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai bursa karbon merupakan penyelenggara pasar yang telah memiliki izin usaha sebagai penyelenggara bursa karbon dari OJK.

Auran ini menekankan, perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib diselenggarakan secara teratur, wajar dan efisien.

Kemudian penyelenggara bursa karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 100 miliar serta dilarang melalui pinjaman.

Kepala Eksekutif Pengawas pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa karbon OJK, Inarno Djajadi, Selasa (5/9/2023), dalam konferensi pers menyampaikan bahwa saat ini OJK tengah mempersiapkan dan memfinalkan ketentuan teknis atau peraturan turunan pelaksanaan Peraturan OJK No. 14/2023. Aturan tersebut nantinya akan berbentuk surat edaran.

Plus Minus

Indonesia sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antarnegara. Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS.

Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.

Anggota Komisi Kehutanan DPR, Kamrussamad, memperkirakan potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan tropis seluas 120,3 juta hektare dapat menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton; mangrove seluas 3,31 juta hektare dan menyerap 33 miliar ton serta hutan gambut seluas 7,5 juta hektare yang menyerap 55 miliar ton.

Jika harga karbon Indonesia 5 dollar AS per ton saja, nilai ekonomi perdagangan karbon lewat bursa karbon sangat besar.

Perdagangan karbon, jika tak terpeleset menjadi greenwashing, bisa menjadi jalan baru menumbuhkan ekonomi sekaligus menggairahkan konservasi sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim.

Sebelum perangkat regulasi perdagangan karbon disiapkan, Indonesia telah mencoba kerjasama dengan pemerintah Kerajaan Norwegia semacam imbal beli karbon dalam bentuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+) pada 2010 selama 10 tahun.

Indonesia dijanjikan imbal beli atau result base payment (RBP) sebesar total satu miliar dollar AS (6 miliar kroner Norwegia/NOK) sebagaimana yang tertulis dalam kerjasama Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara dua negara tersebut.

Dengan berbagai persyaratan yang diminta oleh pemerintah Norwegia di antaranya menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium) dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai institusi pengelola dana RBP REDD+ di daerah.

Semua permintaan tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun sampai batas waktu akhir perjanjian tersebut; faktanya pemerintah Norwegia tidak pernah memenuhi janji untuk membayar dana yang dimaksud.

Padahal dana kompensasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung aksi-aksi Indonesia mendorong rehabilitasi hutan dan penanggulangan degradasi dan deforestasi hutan di lapangan.

Oleh sebab itu, dengan berat hati pada 10 September 2021, pemerintah Indonesia secara sepihak mengakhiri kerja sama dengan pemerintah Kerajaan Norwegia tentang perdagangan karbon karena tidak ada kejelasan realisasi pembayaran tahap pertama yang dijanjikan.

Dalam skala kecil dan terbatas pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.

Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare.

Terlepas dari potensinya dan kelebihan dari perdagangan karbon yang dapat menurunkan emisi dan mendatangkan nilai ekonomi yang cukup besat bagi Indonesia sebagai suatu negara, implementasi perdagangan karbon baik secara langsung maupun melalui bursa karbon juga mempunyai beberapa kelemahan.

Menurut praktisi dan pemerhati lingkungan, kelemahan perdagangan karbon di antaranya adalah:

Pertama, terkait dengan efektivitas dalam mitigasi iklim, belum ada peta jalan yang jelas, hingga kegiatan yang seolah-olah melegalkan lingkungan.

Senior Campaign Strategist Greenpeace International, Tata Mustasya menilai perdagangan karbon dipandang hanya solusi tingkat kedua dalam menurunkan emisi dan memitigasi krisis iklim karena masih memiliki banyak kelemahan.

Implementasi perdagangan karbon ini juga tidak menyelesaikan persoalan sebenarnya terkait emisi yang terus meningkat dan dihasilkan pihak pencemar.

Secara prinsip, implementasi perdagangan karbon tidak memadai karena memiliki semacam lisensi untuk tetap mencemari dengan membeli dan menyeimbangkan jejak karbon.

Mendorong perdagangan karbon masih jauh berada di jalur yang tepat untuk memitigasi krisis iklim.

Kedua, dari aspek kebijakan, upaya menurunkan emisi dan memitigasi krisis iklim seharusnya dilakukan dengan reformasi fiskal, yakni menerapkan transisi hijau dari sektor ekonomi pencemar ke sektor bersih.

Adapun implementasinya dapat berupa kebijakan yang konsisten untuk disinsentif untuk sektor pencemar dan insentif untuk sektor bersih. Termasuk penerapan pajak karbon yang konsisten dan berkeadilan yang nantinya akan dilakukan pada 2025.


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

#Perdagangan #Karbon

Klik disini untuk lihat artikel asli

Related posts